"Dan untuk kita saudara saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka, semboyan kita tetap: merdeka atau mati"...

10 November 1945



"Dan untuk kita saudara saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka, semboyan kita tetap: merdeka atau mati" - Bung Tomo

Menenteng senjata  di pagi hari setelah lengkingan adzan subuh menggema, suara takbir terdengar dimana mana, mengoyak badan yang akan berlari entah dimana, seakan terbakar sanubari mendengarnya, teriakan dan sumpah serapah bertarung sengit dengan suara peluru dari penjuru arah. pasrah?, tidak, kita tidak pasrah, kalaupun pasrah kita tidak akan mati matian disini,  ini tanah air kita, bukan milik mereka si kulit pucat, mereka datang sebagai pengecut yang kembali dengan samaran bendera inggris walaupun saat bersamaan negara itu juga musuh kita, mereka juga bukan sebagai sekutu penolong kemerdekaan, mereka musuh baru untuk kita.

Jendral mereka mati, jendral yang mereka agung agungkan mati di kota ini, padahal selama lima tahun perang dunnia ke-dua tidak satupun jendral mereka bisa dibunuh, namun baru lima hari mereka di kota ini nyawa jendral mereka berhasil direnggut, jasadnya gosong tak terindentifikasi didalam mobil yang terbakar karena ledakan granat yang entah itu granat punya siapa, anak buahnya atau pemuda?, ah entahlah.

Ajakan gencatan senjata mereka tidak bisa diterima, menyerahkan senjata kepada mereka bukanlah pilihan yang bagus, ingatlah mereka semua licik, menyerahkan senjata sama saja seperti menyerahkan nyawa kita, nanti kita lawan mereka dengan apa?, iya kita masih punya bambu, arit dan clurit namun apakah mempan dengan meriam kapal, pesawat bombardir maupun tank milik mereka, mereka sudah mempersenjatai diri lengkap sedangkan kita hanya punya dari rampasan milik jepang yang kita tawan, hari ini harga diri dipertaruhkan, sebuah kemerdekaan ditanyakan, namun dikota ini semua serentak memimilih membangkang.

Pagi setelah pidato sang orator bung Tomo terdengar oleh warga kota dan sebagian daerah disekitarnya, membakar semangat dengan kata dan ucapan saktinya, Surabaya panas, Surabaya membara, Inggris siap dengan semua senjata dan alat perang dan kita juga siap dengan semangat dan rasa cinta pada tanah air negeri ini. Kami berangkat ke medan perang dengan keyakinan bahwa dengan ini kami berjuang, kami yakin dengan teriakan peluru tajam milik mereka akan mental, dengan kegigihan senjata mereka akan salah bidik dan dengan semangat rasa cinta tanah air kami siap berjuang dan mati disini. kami semua rela nyawa melayang demi mempertahankan negeri tercinta, walaupun nyawa kami bayarannya kami rela.

Suara peluru terdengar disemua daerah, Wonokomo,Darmo, tanjung perak, jembatan merah dan semua daerah di Surabaya, tembakan demi tembakan bersautan tak kalah dengan teriakan takbir dan ucapan serapah, kota ini di bombardir dari darat, laut dan udara namun kami tidak akan kalah, kami tidak akan gentar biarkan mereka menyerang kami juga akan melawan.

Mereka mengibarkan bendera putih tanda menyerah, sang pemenang perang dunia ke-dua berlutut pada pemuda Surabaya, mereka menyerah dan minta jalan tengah dengan berunding dengan kita. Korban banyak berjatuhan, di jalanan, di selokan, di rumah sakit, di depan pintu , di jembatan bahkan di dalam airpun ada, lebih dari 10.000 orang kita gugur dan hilang ,selain pejuang ada perempuan, anak anak maupun pasien rumah sakit yang sebenarnya tidak boleh dibunuh dalam perang. Namun di pihak lawan korban tewas juga tak kalah mengerikan bahkan terhitung juga ada belasan ribu campuran dari pasukan inggris dan belanda, dan akhirnya di Surabaya mereka mengalami kekalahan yang sesungguhnya dan kitalah penyebabnya.

Hari itu kita menang dan sampai kapanpun kita akan menang. Di tanggal 10 November 1945 kita boleh bangga, karena Surabaya masih milik kita dan semboyan “MERDEKA ATAU MATI”  bukanlah sekedar seonggok kata kata namun pegangan kuat untuk kita memilih mati berjuang demi kebebasan atau mati pasrah dengan penindasan.

TERIMA KASIH: PAHLAWAN

0 komentar: